Bani Umayyah atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya beribukota di Damaskus serta dari 756 sampai 1031 di Cordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Cordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali
namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada
Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang
pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak
terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal, terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, serta penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul,. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, di antaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, di mana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut di mana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan hadits nabi yang mendukung pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala
Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, di mana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, di mana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
Masa Keemasan
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul,. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, di antaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, di mana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut di mana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan hadits nabi yang mendukung pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala
Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, di mana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Penurunan
Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, di mana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
Kekhalifahan
Utama di Damaskus
- Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
- Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
- Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
- Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
- Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
- Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
- Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
- Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
- Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
- Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
- Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
- Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
- Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M
Keamiran
di Kordoba
- Abdur-rahman I, 756-788
- Hisyam I, 788-796
- Al-Hakam I, 796-822
- Abdur-rahman II, 822-888
- Abdullah bin Muhammad, 888-912
- Abdur-rahman III, 912-929
Kekhalifahan
di Kordoba
- Abdur-rahman III, 929-961
- Al-Hakam II, 961-976
- Hisyam II, 976-1008
- Muhammad II, 1008-1009
- Sulaiman, 1009-1010
- Hisyam II, 1010-1012
- Sulaiman, dikembalikan, 1012-1017
- Abdur-rahman IV, 1021-1022
- Abdur-rahman V, 1022-1023
- Muhammad III, 1023-1024
- Hisyam III, 1027-1031
Khalifah-khalifah
pada bani umayah ini masing-masing ada keunggulan dan kelemahannya dengan
rincian sebagai berikut:
1.
Muawiyah
(661-680 M)
Muawiyah
adalah salah satu khalifah besar pada masa bani umayah. Silsilah Muawiyah bin
Abu Sufyan sebagai pendiri Daulah Amawiyah yang berkuasa atas pemerintahan kaum
muslimin selama delapan puluh tahun
(40-132 H) bersambung kepada Umayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin
Qushay. Ibunya adalah hindun binti Uthbah bin Rabi’ah bin Abd. syams bin Abdu
Manaf.
Muawiyah
memperoleh kekuasaan, tetapi kecuali di Siria dan Mesir, dia memerintah
semata-mata dengan pedang. Di dalam dirinya digabungkannya sifat-sifat seorang
penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyah adalah seorang peneliti sifat
manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia.
Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang
paling ahli pada waktu itu. Dia adalah seorang ahli pidato ulung.
a)
Keberhasilan
militernya
Pada masa kekhalifahan Muawiyah,
kemajuan besar diperoleh di Timur. Orang-orang dari Heart memberontak dan
mereka ditindas pada tahun 661 M. Dua tahun kemudian Kabul juga diserbu.
Operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balkh, dan Kandahar dan
dua tahun kemudian Samarkand dan Tirmid diduduki.
b)
Pengepungan
Konstantinopel
Peristiwa
yang paling mencolok di dalam kekhalifahan Muawiyah adalah pengepungan
Konstantinopel. Suatu kesatuan ekspedisi di bawah pimpinan Yazid berlayar
menuju Dardanela dan berlabuh di sana. Selama enam tahun umat Islam mengepung
Konstantnopel, ibu kota kerajaan Kristen dan selam enam tahun bangsa Romawi
bertahan karena ada benteng kota yang tidak bisa direbut. Karena ditekan dari
mana-mana, Muawiyah memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan itu.
c)
Pemerintahan
Khalifah
Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik. Dasar
yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan daratnya yang kuat
dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang taat dan
setia, Muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut
garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem
yang untuk pertama kali digunakannya itu. Muawiyah merupakan orang pertama di dalam Islam yang
mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanul khatam). Setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh Khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang
asli harus disegel dan dikirimkan ke alamat yang dituju. Pelayanan pos (diwanul barid) kabarnya telah
diperkenalkan oleh Muawiyah. Barid (kepala pos) member tahu pemerintah pusat
tentang apa yang terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini
Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintah pusat. Muawiyah membentuk dua
secretariat-sekretariat imperium (pusat) yang medianya bahasa Arab dan
secretariat provinsi yang menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Dia
mengangkat seorang gubernur di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan.
Akan tetapi, untuk memungut pajak di tiap-tiap provinsi dia mengangkat pejabat
khusus dengan gelar sahibul Kharaj. Pejabat
ini tidak terikat dengan gubernur dan dia di angkat oleh khalifah. Dalam
masalah keuangan, Gubernur harus menggantungkan dirinya pada Sahibul Kharaj, dan hal ini membatasi
kekuasaannya.
Muawiyah
meninggal dunia dalam bulan April 680 M. Secara keseluruhan, setelah memerintah
imperium Islam selama kira-kira 20 tahun, masa pemerintahan Muawiyah merupakan
masa kemakmuran dan perdamaian di dalam negeri serta keberhasilan di luar
negeri.
2.
Yazid (60-64
H)
Yazid adalah anak dari ibnu Muawiyah, dan ibunya Maisun al Kalbiyah yaitu seorang wanita padang
pasir yang dikawini Muawiyah sebelum ia menjadi khalifah. Tetapi Maisun ini
tidak merasa betah dengan kehidupan di kota.
Pikiran tentang pengangkatan Yazid menjadi putera mahkota mulai timbul pada
tahun 49 H. Sebagai gagasan dari Al Mughirah ibnu Syu’bah. Menurut
riwayat, Al mughirah telah merasa bahwa Muawiyah bermaksud memecatnya dari
jabatan Gubernur Kufah.
a)
Penolakan Yazid
Pada tahun
679 M Muawiyah mencalonkan anaknya yazid sebagai penerusnya. Tentu saja hal ini
merupakan suatu penyimpangan dari prinsip yang diikuti oleh khalifah rasyidin.
Sistem kepemimpinan di antara orang Arab, bahkan sebelum datangnya Islam tidak pernah didasarkan atas keturunan
Pada tahun
676 M diundangnya utusan-utusan dari senua provinsi dan kota-kota penting untuk
memberikan sumpah setia kepada anaknya. Irak dan Siria tunduk. Kemudian
Muawiyah pergi ke Madinh dan Mekkah untuk memperoleh janji dari orang-orang
Hijaz. Di Madinah tokoh-tokoh utama termasuk Imam Hussein anak Ali, Abdullah
anak Umar, Abdurrahman anak Abu Bakar dan Abdullah anak Zubair menolak
memberikan sumpah setia denga syarat apa pun.
b)
Yazid Naik
Tahta
Yazid
dicalonkan oleh Muawiyah ketika beliau masih hidup. Yazid adalah oran g yang
kejam dan jahat. Dia orang yang zalim yang tidak mengenal kesalehan atau
keadilan. Dia orang yang paling tidak religius di antara Bani Umayah. Dia jauh
lebih menyukai anggur, music dan olahraga daripada kepentingan umum.
c)
Menyerang
Ka’bah
Bencana yang dilakukan Yazid tidak terbatas hanya pada bencana Karbala yang
telah menelan Al Husain bin Ali sebagai korban pada tahun 61 H. Bencana lainnya
termasuk tindakan saat ia membolehkan tindakan saat ia membolehkan pasukan
tentaranya melakukan tindakan zhalim atas kota Madinah al Muawarah sebagaimkota
suci Rasulullah saw peristiwa ini telah menimbulkan kebencian penduduk Madinh
terhadap pemerintah Yazid dan berakibat tidak diakuiy kepemimpinannya oleh
mereka serta berakibat guberrnurnya diusir bersama orang-orang dari keturunan
Bani Umayah dari Madinah.
d)
Akhir
Riwayat Yazid
Masa
pemerintahannya hanya berlangsung kira-kira tiga tahun saja. Ia mati dalam usia
muda. Dengan
terbunuhnya Husein pada tragedy Karbala terbukalah pintu malapetaka yang akan
menimpa Bani Umayah dan yang tak pernah dapat ditutup kembali. Kemudian
penduduk Madiah juga berontak terhadap Yazid, maka terjadilah pertempuran Al
Harrah yang terkutuk itu, dimana Muslim ibnu Uqbah telah menewaskan berates-ratus
sahabat Rasulullah dan putera-putera mereka. Masa pemerintahan Yazid hanya
berlangsung kira-kira tiga tahun dan beberapa bulan saja. Dalam tahun pertama
ia telah membunuh Husein ibnu Ali. Dalam tahun kedua ia menyerang Madinah dan
membiarkan tentaranya selama tiga hari berbuat sesuka hati terhadap penduduk di
sana. Dan dalam tahun ketiga ia
menggempur Ka’bah. Akhirnya
Yazid meninggal dunia, dengan meninggalkan beban pusaka yang berat. Dan
puteranya pun tak berdaya pula untuk memikulnya.
3.
Muawiyah II
Muawiyah II
saat diangkat menjadi khalifah masih anak-anak dan dianggap lemah. Dia tidak
meninggalkan sesuatu yang pantas untuk dicatat mengingat masa pemerintahannya
empat puluh hari saja. Dia juga tidak menikmati kekuasaannya karena ia sakit
sehingga hanya terdiam di dalam rumahnya.
Dengan demikian, berakhirlah
riwayat Muawiyah II. Dan dengan itu berakhir pula lah kekuasaan anak-cucu abu
Sufyan dan mulailah Masa Bani Umayah yang kedua yaitu masa kekuasaan Al-hakam
ibnu Abul ‘Ash ibnu Umayah.
4.
Marwan Ibnul
Hakam
Marwan
adalah keturunan bani Umayah yang dkenal bersikap memusuhi Rasulullah dan
dakwahnya. Setelah
Muawiyah II meninggal dunia, dia digantika oleh saudaranya Khalid. Pda waktu
itu Khalid masih kecil dan bani Umayah menolak mengakuinya sebagai penguasa
mereka. Para pemuka bani Umayah memilih Marwan, bekas penasehat Khalifah
Utsman. Dia adalah saudara sepupu Muawiyah I dan mempunyai pengaruh besar di
antar bani Umayah. Dia memperoleh dukungan dari para pengikut Khalid karena dia
berjanji akan memberikan jabatan Khalifah kepada Khalid apabila ia telah
dewasa. Dia juga memperoleh dukungan Amar, saudara sepupunya sendiri yang
mempunyai pengikut yang besar di dalam marga itu karena janji yang sama.
Marwan berhasil mendapat
dukungan dari sebagian orang Siria dengan cara menyuap dan dengna memberikan
berbagai hak kepada kepala-kepala suku mereka. Selanjutnya Marwan melancarkan
serangan kepada pengikut Zubair. Suatu pertempuran yang terjadi di Marj Rahat,
beberapa kilometer di sebelah timur laut Damaskus.
Setelah
mengetahui bahwa kondisi cukup terjamin, Marwan menarik kembali janji yang
telah di berikannya kepada Khalid. Dia juga memaksa Aamar yang telah
dijanjikan menjadi ahli waris kekhalifahan untuk menyerahkan haknya atas tahta
kepada anak-anak Marwan, yaitu Abdul Malik dan Abdul Aziz. Tindakan itu
menyakitkan Ibu Khalid yag dikawini Marwan dengan tujuan untuk merukunkan
kembali para pendukung Khalid. Suatu hari Marwan sangat menghina Khalid dan
pada malam itu juga ibunya yang marah itu membunuh Marwan.
5.
Abdul Malik
Bin Marwan
Abdul Malik
bin Marwan lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan. Tercatat, bahwa ia tumbuh dengan cepat dan
terkenal senagai pemberani serta suka menolong. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerjaan Umayah mencapai puncak kekuasaan dan
kemuliaannya. Dia menunjukkan suatu semangat baru da mencerminkan
keharuman dinasti itu.
Pada awal kekuasaannya dan selama dekade pertama sebagai khalifah, Abdul
Malik berada ditengah-tengah banyak musuh dan seperti pendahulunya yang
termasyhur Muawiyah, dia harus menghadapi musuh-musuh diberbagai front.
Abdul Malik bin Marwan dianggap sebagai pendiri Daulat Amamiyah mengingat
kecerdasan akal dan kemampuannya dalam mengendalikan berbagai urusan ehingga ia
bisa membebaskan Daulat umayah dari keadaan rusuh. Sesudah itu,
ia mendirikan gedung keagungan dari kemegaha Daulat Amawiyah dengan bertumpu
pada asas yang belum pernah ditempuh oleh para khalifah sebelum dirinya.
6.
Walid bin
Abdul Malik
Setelah
kematian ayahnya Abdul Malik, Walid naik tahta di Damaskus pada tahun 705 M.
Pemerintahannya membuka suatu zaman yang lebih aman dan lebih makmur. Dia
beruntung karena permusuhan atau perselisihan di dalam negeri tidak mengganggu
pemerintahnnya. Pada masa pemerintahannya wilayah Amawiyah bertambah luas, baik
di barat maupun di timur.
Hidup sejahtera ini terwujud, antara lain berkat sifat dan kasih san
khalifah kepada kaum fakir miskin, berkat perhatiannya yang besar terhadap
keadaan dan kepentingan masyarakat luas sehingga ia sering tidak tidur
sepanjang malam karenanya, kemudian berkat usaha-usaha yang dilakukannya dalam
meringankan beban parapasien yang sedang menderita sakit dan berkat santunannya
yang bersifat khusus begi para penderita kusta karena mereka tidak
diperbolehkan meminta-minta kepada orang, sebagaimana ia juga menyediakan
pembantu bagi para manula yang ditugaskan untuk melayani kpentingan mereka dan
sebagaimana ia pun secara khusus menyediakan pembentu bagi para tuna netra yang
ditugaskan untuk menjadi penuntun yang setia menemani.
7.
Sulaiman bin
Abdul Malik
Walid bin
Abdul Malik digantikan oleh saudaranya Sulaiman yang ternyata seorang putra
yang tidak pantas dan seorang adik yang tidak bernilai. Di dalam masa
pemerintahannya yang singkat dua setengah tahun dia banyak melakukan hal yang
tolol. Dia bersikap baik kepada bangsa Arab Yaman dan membenci bangsa Arab
Hijaz. Dia senga sekali bersenang-senang dan gemar disanjung-sanjung. Segera
setelah naik tahta, Sulaiman membuka pintu-pintu penjara dan membebaskan
orang-orang yang dipenjarakan oleh Hajjaj bin Yusuf. Dia mengganti para
pengumpul pajak yang diangkat oleh Hajjaj dan menghapuskan pajak-pajak yang
menindas.
Sulaiman meninggal dunia di
Dabik diperbatasan Bizantium setelah memegang kendali pemerintahan yang singkat
dan tidak begitu gemilang. Di ranjang kematiannya dia mencalonkan Umar bin
Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8.
Umar bin
Abdul Aziz
Sulaiman
digantikan oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang penguasa yang menonjol karena
sangat berbeda dengan para pendahulunya, dan pemerintahannya yang singkat itu
dipandang oleh banyak orang Islam nsebagai satu-satunya titik cerah di dalam
satu abad pemerintahannya yang tidak bertuhan
dan kezaliman yang berlumuran darah.
Pemerintahan
Umar jelas sekali meninggalkan semua kemegahan dunia yang selalu ditunjukkan
oleh bani umayah. Ketika ia menerima jabatan sebagai khalifah, tukang-tukang
kuda kerajaan membawa kehadpannya kuda-kuda yang paling baik untuk dipilih.
Akan tetapi, dia lebih menyukai kudanya yang sederhana. Dia memerintahkan semua
kuda dari istal kerajaan dilelang kepada umum dan hasil penjualan itu
diserahkan kepada baitul mal. Dia juga menyuruh istrinya mengembalikan semua
perhiasan dan hadiah-hadiah berharga yang diperoleh dari ayah dan
saudara-saudaranya kepada perbendaharaan Negara dan istrinya menurut tanpa
mengomel. Kemudian di menyeru kepada kerabat bani umayah untuk menyerahkan
harta kekayaan mereka kepada Negara. Kebun Fedak, yang menjadi hak milik Nabi
suci yang telah diambil oleh Marwan, diberikan kembali kepada ahli waris Nabi.
Dia memerintahkan untuk menghentikan kebiasaan mengutuk kenangan suci Khalifah
Ali dan anak cucunya dimimbar. Harta kekayaan tertentu dikembalikan kepada
keluarga Talhah.
Meskipun
seorang muslim yang taat, dia sangat toleran terhadap orang-orang Kristen dan
orang-orang Yahudi. Umar
meninggal dunia dalam usa 39 tahun dan dimakamkan di Dair Simon dekat Hims.
9.
Hisyam
Setelah
kematian saudaranya Yazid II saudaranya, Hisyam naik tahta. Pada saat naik
tahta dia harus mengahadapi kesulitan-kesulitan yang serius. Dalam masa 20
tahun pemerintahan Hisyam terjadi kekacauan-kekacauan yang serius di Khurasan.
Terdapat perselisihan yang hebat di antara Mudhariyah dan Himyariyah. Hisyam juga
mengobarkan kembali perang dengan orang-orang Bizantium.
Hisyam
adalah seorang penyokong kesenian dan sastra yang tekun. Hisyam bin Abdul Malik
tidak diragukan lagi adalah seorang penguasa bani umayah yang paling cakap,
seorang pejuang dan juga seorang cendekiawan.
10.
Walid II
Hisyam
digantikan oleh Walid II anak Yazid II. Dia dilukiskan orang yang tidak
bermoral, pemabuk, dan pelanggar perintah Illahi. Pada permulaan dia
menunjukkan kebaikan-kebaiakn kepada fakir miskin, orang lemah dan jompo, dan
oleh karena itu ia memperoleh popularitas. Akan tetapi, kepopuleran ini
terhapus dan digugurkan oleh temperamennya yang cepat berubah dan sifat
pendendamnya yang sering berakhir dalam perbuata jahat. Dia ternyata sangat
kejam terhadap saudara-saudara sepupunya, anak-anak Yazid. Orang-orang Yamamah
yang sangat menderita oleh Walid denngan sepenuh hati mendukung Yazid. Rakyat
menyerang istananya dan membunuhnya.
11.
Yazid III
Setelah
kematian Walid II, Yazid diangkat untuk menduduki tahta. Dia adalah penguaa
yang adil dan takwa. Dia menghapuskan pajak-pajak tertentu dan memberhentikan
pejabat-pejabat Negara yang tidak jujur. Seandainya dia hidup cukup lama,
mungkin di akan mampu membuktikan pemerintahan yang cakap. Akan tetapi, pemerintahannya
terlalu singkat dan terlalu banyak gangguan untuk melakukan pembaruan atau
perbaikan. Dia meninggal setelah memerintah selama enam bulan. Dia digantikan
oleh saudaranya Ibrahim yang hanya memerinta 2 bulan 10 hari. Dia tidak
termasuk khalifah.
12.
Marwan II
Marwan naik
tahta ketika bani umayah sedang mengalami maa yang penuh pergolakan dan
perselisihan. Pusat kerusuhan yang utama ialah Khurasan tempat bani Abbas
memusatkan kegiatannya.
Sementara
itu, keadaan politik provinsi-provinsi sebelah timur mulai memburuk. Marwan
mengangkat mata-mata untuk mencari orang yang menjadi organisator kerusuhan
itu. Sementara itu, peristiwa-peristiwa
berlangsung dengan cepat di timur. Pada tahun 749 M anak Marwan dikalahkan oleh
Abu Ayun. Marwan memutuskan untuk bertempur dalam pertempuran terakhir yang
nekat melawan Abbasiyah. Di Damaskus bani umayah memberikan suatu perlawanan,
tetapi kota itu telah direbut, gubernurnya telah dibunuh dan ibu kota Siria
serta seluruh imperium, beralih ketangan Abbasiyah. Marwan diburu dari satu
tempat ke tempat lain, akhirnya dia ditemukan di Mesir dan dibunuh di sana.
Dengan demikian, berakhirlah karier salah seorang penguasa yang penuh semangat
pada zamannya dan bersamanya binasaah dinasti Umayah
No comments:
Post a Comment